PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Instrumen dokumen perencanaan pembangunan
nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam
memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan
perkembangan dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah
semenjak bergulirnya bola reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945,
demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah (UU
Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004
dan UU Nomor 33/2004), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor
23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, penguatan
prinsip-prinsip Good Governance : transparansi, akuntabilitas, partisipasi,
bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu dokumen perencanaan
pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan gelombang globalisasi (AFTA,
WTO, dsb) dan perubahan peta geopolitik dunia pasca tragedi 11 September 2001.
Dokumen perencanaan periode 1968-1998
Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional
periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan
hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk
Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat
sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat
didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan
masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara
aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada
perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan
tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan
kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya.
Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi
masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan
sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang
sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi
walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika
reformasi terjadi.
Pembangunan Nasional pada masa ORDE BARU
berpedoman pada TRILOGI PEMBANGUNAN dan DELAPAN
JALUR PEMERATAAN. Trilogy Pembangunan terdiri dari :
• Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya
menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
• Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
• Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Runtuhnya Orde Baru dan Lahirnya Reformasi
1. Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru
adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi
Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia.
Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat
terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan
munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa.
Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total.
Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada
saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa
Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa
tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin
Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai
“Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto
berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi.
Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU
Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU
Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk
karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya
penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
2. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden
Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan
jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai
berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.