Kamis, 11 Oktober 2012

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN 


            POLITIK PEMBANGUNAN DAN KEBIJAKAN                             PRIVATISASI PELAYANAN KESEHATAN

      THE POLITIC OF DEVELOPMENT AND HEALTH PRIVATIZATION IN HEALTH SERVICE


Latar Belakang 
      
Privatisasi Pembangunan di Mancanegara dan
di Indonesia

     Cita-cita dunia barat sebagian besar adalah citacita
liberal yang menyepakati tentang arti liberalisme,
selain kebebasan atau liberte individu yaitu hal-hal
yang akan menyelamatkan dan mempertinggi
kebebasan itu, seperti persamaan hak, pemerintahan
konstitusi, aturan hukum, dan toleransi. Pada batasan
konsep liberalisme seperti inilah ruang privatisasi
pembangunan pemerintah berada.
     Adanya arus besar privatisasi sebagai
representasi politik liberalisasi setidaknya dapat
dipahami dengan mengacu pada pandangan J.A. Kay
dan D.J. Thomson yang menganggap bahwa privatisasi
tidak semata-mata soal pengalihan kepemilikan badan
usaha saja melainkan merupakan cara mengubah
hubungan antara pemerintah dan sektor swasta
”...means of changing relationship between the
government and private sector”,4 secara lebih subtanstif
dalam perspektif filsafat-politik, privatisasi berarti
kegiatan mengurangi peranan pemerintah (state control)
dan meningkatkan peran swasta. Privatisasi adalah:
”the act of reducing the role of government and
expanding that of the private sector.”
     Pada praktiknya, terdapat perbedaan dalam
penetapan batasan dan pelaksanaan privatisasi.
Sebagai contoh, Amerika Serikat (selanjutnya
disebut AS) privatisasi diartikan sebagai minimalisasi
peranan pemerintah dan maksimalisasi peran sektor
swasta, baik dalam aktivitas-aktivitas layanan publik
maupun kepemilikan aset-asetnya. John D. Donahue
memberikan konsep berikutnya tentang privatisasi
yang lebih menekankan pada peningkatan kinerja
sektor publik dengan pelibatan kekuatan sektor
swasta dalam layanan publik dengan ungkapan: ”the
term more often refers to the private delivery of goods
and services that are still paid collectively’.
     Sementara di Inggris, konsep privatisasi
mempunyai beberapa pengertian yang berbeda.
Dalam arti sempit privatisasi didefinisikan sebagai
konsep penjualan aset-aset publik, sebagaimana
ungkapan Peter M. Jackson dan Catherine M.Price:
”privatization could be defined in narrow terms
restricting the concept to the sale of public as sets.”.
    Berikutnya, privatisasi lebih diartikan sebagai proses
pengalihan bentuk hukum perusahaan negara
berdasarkan perundang-undangan yang ada dan
kemudian diikuti dengan penjualan saham-saham
perusahaan tersebut kepada pihak swasta: “the
formation of a company under the Companies Act
1985 and the sub sequent sale of at least 50% of
the shares to private shareholder”.. Penekanan pada
penjualan aset publik berupa perusahaan negara
kepada pihak lain dengan terlebih dahulu mengalihkan
bentuk hukum perusahaan tersebut menjadi
perusahaan swasta sesuai dengan UU Perusahaan
yang ada dan kemudian menjualnya sebagian atau
seluruhnya saham-sahamnya kepada pihak swasta
dianggap sebuah ciri privatisasi di Inggris.6
     Sebagai sebuah kebijakan, privatisasi telah
memunculkan pro dan kontra dengan dasar
argumentasi masing-masing. Antara lain ungkapan
mantan Menteri Ekonomi dan Keuangan Spanyol
Carlos Solchaga mewakili kelompok pro: privatisasi
adalah bagian dari proses demokrasi. Dalam banyak
kasus, privatisasi merupakan solusi terbaik karena
dengan privatisasi perusahaan dapat lebih cepat
berkembang dan maju, sehingga membuka peluang
lapangan pekerjaan yang lebih banyak. Belum lagi
daya saing, yang berarti dapat meningkatkan profit
dan menurunkan tarif atau harga”.5 Dukungan serupa
juga diberikan oleh seorang ekonom dari Australia
National University Indonesia Project, Ross Mcleod.
Menurutnya ada beberapa alasan yang membuat
privatisasi merupakan jalan yang tepat untuk sebuah
perubahan yaitu pertama, privatisasi mengefektifkan
manajemen lembaga terkait, sehingga jika pemimpin
dianggap tidak mampu lagi memegang kendali
perusahaan atau melakukan kesalahan yang
berakibat fatal pada perusahaan maka ia dapat
dipecat. Tidak seperti sistem yang dipakai saat ini,
jika pemimpin melakukan kesalahan, sanksi yang
diberikan hanya mutasi jabatan. Kedua, proses
rekrutmen, promosi dan remunerasi dalam sistem
kepegawaian yang mengacu pada sistem yang
berlaku pada lembaga pemerintah menghasilkan
banyak pegawai dengan kualitas yang di bawah dari
yang diharapkan, sementara perusahaan
membutuhkan pegawai dengan kualitas sesuai yang
dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja peusahaan.
Ketiga, perusahaan negara yang belum terprivatisasi
akan sangat banyak mendapatkan intervensi politik
dari pemerintah maupun legislatif, sehingga akan
menghambat pertumbuhan dan perkembangan
perusahaan, terutama dalam hal investasi, profit
sharing, dan lain-lain.
    Sementara kelompok yang kontra
mengemukakan bahwa privatisasi berhubungan
langsung dengan fenomena global, karena sistem
ekonomi yang terpusat pada negara (state centered
economic system) ditransformasikan menjadi suatu
sistem ekonomi yang berpusat pada mekanisme
pasar bebas (free market economic system). Hal
ini dianggap sebagai bentuk penjarahan kekayaan
negara model baru dari kolonialisme dan liberalisme
yang telah terbukti memiskinkan masyarakat di
negara dunia ketiga.
    Di Indonesia, terdapat beberapa konsep dan
pemahaman yang menjadi dasar pelaksanaan
privatisasi. Antara lain, konsep privatisasi sebagai
bentuk pengurangan intervensi pemerintah ke BUMN,
dan memberikan lebih banyak kebebasan bagi
BUMN untuk beroperasi sesuai dengan anggaran
dasarnya.8 Konsep ini memang lebih banyak
menekankan kepada pengurangan intervensi
pemerintah ke BUMN yang pada akhirnya bertujuan
membuat BUMN mandiri dalam operasionalnya
sehari-hari. Berdasarkan definisi dan konsep
privatisasi ini, sudah banyak BUMN di Indonesia
yang diprivatisasi oleh pemerintah semenjak tahun
1990-an seperti Indosat, Telkom, tambang timah,
dan lainnya.
    Selain itu, privatisasi di Indonesia juga sering
diartikan sebagai kegiatan mengalihkan sebagian
tugas pemerintah ke sektor swasta. Pada definisi
ini, pemerintah mengalihkan sebagian tugasnya
kepada pengusaha swasta, seperti penanganan
sampah, penyediaan air minum dan berbagai
layanan publik lainnya, sehingga banyak prasarana
dan pelayanan publik yang dibangun oleh pihak
swasta, seperti rumah sakit, sekolah, angkutan
umum, jalan tol, angkutan udara, dan perumahan.
Artinya pelaksanaan privatisasi di Indonesia
menganut dua konsep privatisasi, yang
memfokuskan pada pelayanan publik, seperti di AS
dan juga pada penjualan BUMN, seperti di Inggris.9
Dengan peningkatan kinerja, perluasan partisipasi
masyarakat dan tingkat manfaat yang dapat diambil
menjadi beberapa dasar pelaksanaan privatisasi
seperti tertuang dalam UU RI No. 19/2003 tentang
BUMN pasal 1 ayat 12 tetang privatisasi: ” .. adalah
penjualan saham persero, baik sebagian maupun
seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka
meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan,
memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat,
serta memperluas pemilikan saham oleh
masyarakat”.

Privatisasi Pelayanan Kesehatan

    Pengurangan peran pemerintah karena
ketidakmampuan menanggung sendiri beban dan
biaya pengembangan pelayanan kesehatan bahkan
pemeliharaan pelayanan kesehatan dengan alternatif
penyertaan pihak swasta menjadi salah satu dasar
penetapan kebijakan privatisasi. Pemindahan
sebagian tugas pengelolaan pelayanan kesehatan
kepada organisasi sukarelawan, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) atau perusahaan-perusahaan
privat ‘for profit ataupun non profit ‘ mengacu pada
berbagai peraturan pemerintah yang mengikat.
Banyak pemerintahan negara-negara sedang
berkembang yang bahkan telah lama tergantung
kepada sektor swasta atau organisasi pemberi
bantuan dalam penyediaan pelayanan kesehatan.
Meski seolah terkesan pragmatis, namun hal ini
dapat dipandang sebagai fenomena sementara
karena pemerintah akan memulihkan dan
memperkuat perannya kembali dengan mengambil
bila telah tersedia sumber dana yang mencukupi.
    Dasar pertimbangan lain adalah cepatnya
pertumbuhan tuntutan pasar di era perdagangan
bebas pada lembaga-lembaga pemerintah, tak
terkecuali di bidang kesehatan yang mengharuskan
dilakukannya upaya-upaya terobosan termasuk
pengubahan bentuk status kepemilikan atau
privatisasi. Korporatisasi atau privatisasi pelayanan
kesehatan diyakini akan mampu menjawab masalahmasalah
inefisiensi pengelolaan keuangan, belum
optimalnya mutu pelayanan kesehatan dan
sebagainya. Kebijakan privatisasi bahkan dipandang
sebagai salah satu jalan yang harus ditempuh untuk
menyelamatkan keuangan negara dan daerah.
     Argumentasi dukungan terhadap kebijakan
privatisasi antara lain: sebagai upaya mengurangi
beban keuangan pemerintah, sekaligus membantu
sumber pendanaan pemerintah dengan menjual
sahamnya, meningkatkan efisiensi pengelolaan
perusahaan, meningkatkan profesionalisme,
mengurangi campur tangan birokrasi dan pemerintah
terhadap pengelolaan perusahaan, mendukung
pengembangan pasar modal dalam negeri, sebagai
pembawa bendera (flag-carrier) dalam mengarungi
pasar global.
    Atas dasar itu, Eid, F, menyayangkan
kenyataan bahwa keuntungan atau manfaat yang
bisa didapat dari privatisasi rumah sakit pemerintah
sering terhalang oleh kendala politis, selain juga
kemampuan kewirausahaan dari pengelola.
Mengingat area penting yang menjadi tanggung
jawab pemerintah di bidang kesehatan adalah
regulasi, keuangan dan penetapan standar
pelayanan, maka sudah seharusnya pemerintah
menaruh perhatian tinggi pada transformasi bentuk
dan status rumah sakit serta penyelesaian masalahmasalah
yang timbul pada prosesnya.
Pihak yang kontra terhadap kebijakan privatisasi
di Indonesia beranggapan bahwa kebijakan
privatisasi pelayanan kesehatan atau rumah sakit
merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 Pasal
28H 1 tentang Hak Pelayanan Kesehatan dan Pasal
34 Ayat 3 yang menyebutkan bahwa negara
bertanggung jawab atas fasilitas kesehatan dan
fasilitas umum yang layak. Mengambil pelajaran dari
pengalaman berbagai negara lain, Thabrany
berpendapat bahwa bentuk perseroan terbatas
bukanlah bentuk yang tepat untuk sebuah fasilitas
pelayanan publik seperti rumah sakit. Ada banyak
karakteristik dalam pelayanan di bidang kesehatan
yang tidak bisa disamakan dengan pelayanan publik
yang lainnya.
    Terlepas dari pro dan kontra yang berkembang,
serta alasan ideologis dan politis yang
melatarbelakangi, faktanya privatisasi pelayanan
kesehatan telah berlangsung. Pada tahun 1993,
World Development Report memberikan data
mengenai estimasi jumlah sektor swasta (private)
dan publik di 79 negara pada tahun 1990. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sektor swasta
(private) pada 24 negara di antaranya telah
berkembang lebih besar daripada sektor publik. Pada
banyak negara, pelayanan kesehatan sudah
beroperasi mendekati situasi pasar bebas sehingga
privatisasi telah menjadi bagian penting dalam
agenda politik di banyak negara.Sebagaimana data
tentang kontribusi sektor swasta (private) dalam
pelayanan kesehatan di negara-negara berkembang
Asia berikut: India, 57% dari rumah sakit dan 32%
dari tempat tidur adalah swasta; Korea, proporsi
rumah sakit swasta telah meningkat dari 35% ke
95% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir; Filipina,
67% dari rumah sakit adalah swasta meliputi 50%
dari tempat tidur, Thailand 30% dari rumah sakit
adalah swasta. Di India dan Thailand, pembelanjaan
kesehatan bersumber swasta adalah sekitar 88%;
di Indonesia 65%; di Korea 60%; di Filipina sekitar
50%.10 Bagaimana memaknai data kontribusi pihak
swasta pada pelayanan kesehatan di sebuah Negara
apakah sebagai suatu hal positif yang menunjukkan
kemajuan di bidang kesehatan atau justru sebaliknya
tentu terpulang pada paradigma sang penilai serta
konsideran pelaksanaan privatisasi pelayanan
kesehatan itu sendiri.



Kepustakaan 

        Dumilah Ayuningtyas
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok
 No. 03 September l 2009
 
 1. Samuel Huntington, Gelombang Demokratisasi
Ketiga. Grafiti, Jakarta, 2000;Bab. 1,3.
2. Tommy Legowo, Demokratisasi: Refleksi
Kekuasaan yang Transformatif, Analisis CSIS,
1994;XXIII(1):6.
3. Syamsul Hadi, et.all, Strategi Pembangunan
Indonesia Pasca IMF, Granit, Jakarta,
2004:8,9,10.
4. J.A Kay & D.J Thompson, Privatization: A policy
in search of rationale in Economic Journal,
1986;96:18-32.
5. Safri Nugraha, Privatisasi di Berbagai Negara:
Pengantar Untuk Memahami Privatisasi
Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2002:10, 16-18,
19. 20
6. Revrisond Baswir, Bahaya Globalisasi
Neoliberal, Republika Senin 8 Desember 2003
7. Ross Mcleod, Why Privatise In Indonesia? And
How? East Asia Forum. http://www.eastasia
forum.org/2008/08/07/why-privatise-inindonesia-
and-how/. Diakses pada tanggal 18
April 2008.
8. Florence Eid, “Governance & Incentives in
Corporatized Hospital” (Working Paper, the
American University of Beirut), Maret 2005.
9. Hasbullah T. Risiko Konversi rumah Sakit Publik
Menjadi Perusahaan, 2006. http://www.kompas.
com/kompas-cetak/0506/15/opini/1817832.
htm, Diakses pada 18 April 2007.
10. Willam Newbrander, Private Health Sector
Growth in Asia, Issues and Implication. John
Willey & sons Press, London, UK, 1997.
11. Carol Baker, The Health Care Policy Process,
Sage Publications Ltd, London, 1996:163
12. James A. Caporaso and David P. Levine,
Theories of Political Economy, Cambridge
University Press, USA, 1992: 31.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar