POLITIK PEMBANGUNAN DAN KEBIJAKAN PRIVATISASI PELAYANAN KESEHATAN
THE POLITIC OF DEVELOPMENT AND HEALTH PRIVATIZATION IN HEALTH SERVICE
Latar Belakang
Privatisasi Pembangunan di Mancanegara
dan
di Indonesia
Cita-cita dunia barat sebagian besar
adalah citacita
liberal yang menyepakati tentang arti
liberalisme,
selain kebebasan atau liberte individu
yaitu hal-hal
yang akan menyelamatkan dan
mempertinggi
kebebasan itu, seperti persamaan hak,
pemerintahan
konstitusi, aturan hukum, dan
toleransi. Pada batasan
konsep liberalisme seperti inilah
ruang privatisasi
pembangunan pemerintah berada.
Adanya arus besar privatisasi sebagai
representasi politik liberalisasi
setidaknya dapat
dipahami dengan mengacu pada pandangan
J.A. Kay
dan D.J. Thomson yang menganggap bahwa
privatisasi
tidak semata-mata soal pengalihan
kepemilikan badan
usaha saja melainkan merupakan cara
mengubah
hubungan antara pemerintah dan sektor
swasta
”...means of changing relationship
between the
government and private sector”,4 secara lebih
subtanstif
dalam perspektif filsafat-politik,
privatisasi berarti
kegiatan mengurangi peranan pemerintah
(state control)
dan meningkatkan peran swasta. Privatisasi
adalah:
”the act of reducing the role of
government and
expanding that of the private sector.”
Pada praktiknya, terdapat perbedaan
dalam
penetapan batasan dan pelaksanaan
privatisasi.
Sebagai contoh, Amerika Serikat
(selanjutnya
disebut AS) privatisasi diartikan
sebagai minimalisasi
peranan pemerintah dan maksimalisasi
peran sektor
swasta, baik dalam aktivitas-aktivitas
layanan publik
maupun kepemilikan aset-asetnya. John
D. Donahue
memberikan konsep berikutnya tentang
privatisasi
yang lebih menekankan pada peningkatan
kinerja
sektor publik dengan pelibatan
kekuatan sektor
swasta dalam layanan publik dengan
ungkapan: ”the
term more often refers to the private
delivery of goods
and services that are still paid
collectively’.
Sementara di Inggris, konsep
privatisasi
mempunyai beberapa pengertian yang
berbeda.
Dalam arti sempit privatisasi
didefinisikan sebagai
konsep penjualan aset-aset publik,
sebagaimana
ungkapan Peter M. Jackson dan
Catherine M.Price:
”privatization could be defined in
narrow terms
restricting the concept to the sale of
public as sets.”.
Berikutnya, privatisasi lebih
diartikan sebagai proses
pengalihan bentuk hukum perusahaan
negara
berdasarkan perundang-undangan yang
ada dan
kemudian diikuti dengan penjualan
saham-saham
perusahaan tersebut kepada pihak
swasta: “the
formation of a company under the
Companies Act
1985 and the sub sequent sale of at
least 50% of
the shares to private shareholder”.. Penekanan pada
penjualan aset publik berupa
perusahaan negara
kepada pihak lain dengan terlebih
dahulu mengalihkan
bentuk hukum perusahaan tersebut
menjadi
perusahaan swasta sesuai dengan UU
Perusahaan
yang ada dan kemudian menjualnya
sebagian atau
seluruhnya saham-sahamnya kepada pihak
swasta
dianggap sebuah ciri privatisasi di
Inggris.6
Sebagai sebuah kebijakan, privatisasi
telah
memunculkan pro dan kontra dengan
dasar
argumentasi masing-masing. Antara lain
ungkapan
mantan Menteri Ekonomi dan Keuangan
Spanyol
Carlos Solchaga mewakili kelompok pro:
privatisasi
adalah bagian dari proses demokrasi.
Dalam banyak
kasus, privatisasi merupakan solusi
terbaik karena
dengan privatisasi perusahaan dapat
lebih cepat
berkembang dan maju, sehingga membuka
peluang
lapangan pekerjaan yang lebih banyak.
Belum lagi
daya saing, yang berarti dapat
meningkatkan profit
dan menurunkan tarif atau harga”.5 Dukungan serupa
juga diberikan oleh seorang ekonom
dari Australia
National University Indonesia Project,
Ross Mcleod.
Menurutnya ada beberapa alasan yang
membuat
privatisasi merupakan jalan yang tepat
untuk sebuah
perubahan yaitu pertama, privatisasi
mengefektifkan
manajemen lembaga terkait, sehingga
jika pemimpin
dianggap tidak mampu lagi memegang
kendali
perusahaan atau melakukan kesalahan
yang
berakibat fatal pada perusahaan maka
ia dapat
dipecat. Tidak seperti sistem yang
dipakai saat ini,
jika pemimpin melakukan kesalahan,
sanksi yang
diberikan hanya mutasi jabatan. Kedua,
proses
rekrutmen, promosi dan remunerasi
dalam sistem
kepegawaian yang mengacu pada sistem
yang
berlaku pada lembaga pemerintah
menghasilkan
banyak pegawai dengan kualitas yang di
bawah dari
yang diharapkan, sementara perusahaan
membutuhkan pegawai dengan kualitas
sesuai yang
dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja
peusahaan.
Ketiga, perusahaan negara yang belum
terprivatisasi
akan sangat banyak mendapatkan
intervensi politik
dari pemerintah maupun legislatif,
sehingga akan
menghambat pertumbuhan dan
perkembangan
perusahaan, terutama dalam hal
investasi, profit
sharing, dan lain-lain.
Sementara kelompok yang kontra
mengemukakan bahwa privatisasi
berhubungan
langsung dengan fenomena global,
karena sistem
ekonomi yang terpusat pada negara
(state centered
economic system) ditransformasikan
menjadi suatu
sistem ekonomi yang berpusat pada
mekanisme
pasar bebas (free market economic
system). Hal
ini dianggap sebagai bentuk penjarahan
kekayaan
negara model baru dari kolonialisme
dan liberalisme
yang telah terbukti memiskinkan
masyarakat di
negara dunia ketiga.
Di Indonesia, terdapat beberapa konsep
dan
pemahaman yang menjadi dasar
pelaksanaan
privatisasi. Antara lain, konsep
privatisasi sebagai
bentuk pengurangan intervensi
pemerintah ke BUMN,
dan memberikan lebih banyak kebebasan
bagi
BUMN untuk beroperasi sesuai dengan
anggaran
dasarnya.8 Konsep ini memang
lebih banyak
menekankan kepada pengurangan
intervensi
pemerintah ke BUMN yang pada akhirnya
bertujuan
membuat BUMN mandiri dalam
operasionalnya
sehari-hari. Berdasarkan definisi dan
konsep
privatisasi ini, sudah banyak BUMN di
Indonesia
yang diprivatisasi oleh pemerintah
semenjak tahun
1990-an seperti Indosat, Telkom,
tambang timah,
dan lainnya.
Selain itu, privatisasi di Indonesia
juga sering
diartikan sebagai kegiatan mengalihkan
sebagian
tugas pemerintah ke sektor swasta.
Pada definisi
ini, pemerintah mengalihkan sebagian
tugasnya
kepada pengusaha swasta, seperti
penanganan
sampah, penyediaan air minum dan
berbagai
layanan publik lainnya, sehingga
banyak prasarana
dan pelayanan publik yang dibangun
oleh pihak
swasta, seperti rumah sakit, sekolah,
angkutan
umum, jalan tol, angkutan udara, dan
perumahan.
Artinya pelaksanaan privatisasi di
Indonesia
menganut dua konsep privatisasi, yang
memfokuskan pada pelayanan publik,
seperti di AS
dan juga pada penjualan BUMN, seperti
di Inggris.9
Dengan peningkatan kinerja, perluasan
partisipasi
masyarakat dan tingkat manfaat yang
dapat diambil
menjadi beberapa dasar pelaksanaan
privatisasi
seperti tertuang dalam UU RI No.
19/2003 tentang
BUMN pasal 1 ayat 12 tetang
privatisasi: ” .. adalah
penjualan saham persero, baik sebagian
maupun
seluruhnya kepada pihak lain dalam
rangka
meningkatkan kinerja dan nilai
perusahaan,
memperbesar manfaat bagi negara dan
masyarakat,
serta memperluas pemilikan saham oleh
masyarakat”.
Privatisasi Pelayanan Kesehatan
Pengurangan peran pemerintah karena
ketidakmampuan menanggung sendiri
beban dan
biaya pengembangan pelayanan kesehatan
bahkan
pemeliharaan pelayanan kesehatan
dengan alternatif
penyertaan pihak swasta menjadi salah
satu dasar
penetapan kebijakan privatisasi.
Pemindahan
sebagian tugas pengelolaan pelayanan
kesehatan
kepada organisasi sukarelawan, Lembaga
Swadaya
Masyarakat (LSM) atau
perusahaan-perusahaan
privat ‘for profit ataupun non profit ‘
mengacu pada
berbagai peraturan pemerintah yang
mengikat.
Banyak pemerintahan negara-negara
sedang
berkembang yang bahkan telah lama
tergantung
kepada sektor swasta atau organisasi
pemberi
bantuan dalam penyediaan pelayanan
kesehatan.
Meski seolah terkesan pragmatis, namun
hal ini
dapat dipandang sebagai fenomena
sementara
karena pemerintah akan memulihkan dan
memperkuat perannya kembali dengan
mengambil
bila telah tersedia sumber dana yang
mencukupi.
Dasar pertimbangan lain adalah
cepatnya
pertumbuhan tuntutan pasar di era
perdagangan
bebas pada lembaga-lembaga pemerintah,
tak
terkecuali di bidang kesehatan yang
mengharuskan
dilakukannya upaya-upaya terobosan
termasuk
pengubahan bentuk status kepemilikan
atau
privatisasi. Korporatisasi atau
privatisasi pelayanan
kesehatan diyakini akan mampu menjawab
masalahmasalah
inefisiensi pengelolaan keuangan,
belum
optimalnya mutu pelayanan kesehatan
dan
sebagainya. Kebijakan privatisasi
bahkan dipandang
sebagai salah satu jalan yang harus
ditempuh untuk
menyelamatkan keuangan negara dan
daerah.
Argumentasi dukungan terhadap
kebijakan
privatisasi antara lain: sebagai upaya
mengurangi
beban keuangan pemerintah, sekaligus
membantu
sumber pendanaan pemerintah dengan
menjual
sahamnya, meningkatkan efisiensi
pengelolaan
perusahaan, meningkatkan profesionalisme,
mengurangi campur tangan birokrasi dan
pemerintah
terhadap pengelolaan perusahaan,
mendukung
pengembangan pasar modal dalam negeri,
sebagai
pembawa bendera (flag-carrier) dalam
mengarungi
pasar global.
Atas dasar itu, Eid, F, menyayangkan
kenyataan bahwa keuntungan atau
manfaat yang
bisa didapat dari privatisasi rumah
sakit pemerintah
sering terhalang oleh kendala politis,
selain juga
kemampuan kewirausahaan dari
pengelola.
Mengingat area penting yang menjadi
tanggung
jawab pemerintah di bidang kesehatan
adalah
regulasi, keuangan dan penetapan
standar
pelayanan, maka sudah seharusnya
pemerintah
menaruh perhatian tinggi pada
transformasi bentuk
dan status rumah sakit serta
penyelesaian masalahmasalah
yang timbul pada prosesnya.
Pihak yang kontra terhadap kebijakan
privatisasi
di Indonesia beranggapan bahwa
kebijakan
privatisasi pelayanan kesehatan atau
rumah sakit
merupakan pelanggaran terhadap UUD
1945 Pasal
28H 1 tentang Hak Pelayanan Kesehatan
dan Pasal
34 Ayat 3 yang menyebutkan bahwa
negara
bertanggung jawab atas fasilitas
kesehatan dan
fasilitas umum yang layak. Mengambil
pelajaran dari
pengalaman berbagai negara lain,
Thabrany
berpendapat bahwa bentuk perseroan
terbatas
bukanlah bentuk yang tepat untuk
sebuah fasilitas
pelayanan publik seperti rumah sakit.
Ada banyak
karakteristik dalam pelayanan di
bidang kesehatan
yang tidak bisa disamakan dengan
pelayanan publik
yang lainnya.
Terlepas dari pro dan kontra yang
berkembang,
serta alasan ideologis dan politis
yang
melatarbelakangi, faktanya privatisasi
pelayanan
kesehatan telah berlangsung. Pada
tahun 1993,
World Development Report memberikan
data
mengenai estimasi jumlah sektor swasta
(private)
dan publik di 79 negara pada tahun
1990. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sektor
swasta
(private) pada 24 negara di antaranya
telah
berkembang lebih besar daripada sektor
publik. Pada
banyak negara, pelayanan kesehatan
sudah
beroperasi mendekati situasi pasar
bebas sehingga
privatisasi telah menjadi bagian
penting dalam
agenda politik di banyak
negara.Sebagaimana data
tentang kontribusi sektor swasta
(private) dalam
pelayanan kesehatan di negara-negara
berkembang
Asia berikut: India, 57% dari rumah
sakit dan 32%
dari tempat tidur adalah swasta;
Korea, proporsi
rumah sakit swasta telah meningkat
dari 35% ke
95% dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir; Filipina,
67% dari rumah sakit adalah swasta
meliputi 50%
dari tempat tidur, Thailand 30% dari
rumah sakit
adalah swasta. Di India dan Thailand,
pembelanjaan
kesehatan bersumber swasta adalah
sekitar 88%;
di Indonesia 65%; di Korea 60%; di
Filipina sekitar
50%.10 Bagaimana memaknai data kontribusi pihak
swasta pada pelayanan kesehatan di
sebuah Negara
apakah sebagai suatu hal positif yang
menunjukkan
kemajuan di bidang kesehatan atau
justru sebaliknya
tentu terpulang pada paradigma sang
penilai serta
konsideran pelaksanaan privatisasi
pelayanan
kesehatan itu sendiri.
Kepustakaan
Dumilah Ayuningtyas
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok
No. 03 September l 2009
1. Samuel Huntington, Gelombang Demokratisasi
Ketiga. Grafiti, Jakarta, 2000;Bab. 1,3.
2. Tommy Legowo, Demokratisasi: Refleksi
Kekuasaan yang Transformatif, Analisis CSIS,
1994;XXIII(1):6.
3. Syamsul Hadi, et.all, Strategi Pembangunan
Indonesia Pasca IMF, Granit, Jakarta,
2004:8,9,10.
4. J.A Kay & D.J Thompson, Privatization: A policy
in search of rationale in Economic Journal,
1986;96:18-32.
5. Safri Nugraha, Privatisasi di Berbagai Negara:
Pengantar Untuk Memahami Privatisasi
Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2002:10, 16-18,
19. 20
6. Revrisond Baswir, Bahaya Globalisasi
Neoliberal, Republika Senin 8 Desember 2003
7. Ross Mcleod, Why Privatise In Indonesia? And
How? East Asia Forum. http://www.eastasia
forum.org/2008/08/07/why-privatise-inindonesia-
and-how/. Diakses pada tanggal 18
April 2008.
8. Florence Eid, “Governance & Incentives in
Corporatized Hospital” (Working Paper, the
American University of Beirut), Maret 2005.
9. Hasbullah T. Risiko Konversi rumah Sakit Publik
Menjadi Perusahaan, 2006. http://www.kompas.
com/kompas-cetak/0506/15/opini/1817832.
htm, Diakses pada 18 April 2007.
10. Willam Newbrander, Private Health Sector
Growth in Asia, Issues and Implication. John
Willey & sons Press, London, UK, 1997.
11. Carol Baker, The Health Care Policy Process,
Sage Publications Ltd, London, 1996:163
12. James A. Caporaso and David P. Levine,
Theories of Political Economy, Cambridge
University Press, USA, 1992: 31.
Ketiga. Grafiti, Jakarta, 2000;Bab. 1,3.
2. Tommy Legowo, Demokratisasi: Refleksi
Kekuasaan yang Transformatif, Analisis CSIS,
1994;XXIII(1):6.
3. Syamsul Hadi, et.all, Strategi Pembangunan
Indonesia Pasca IMF, Granit, Jakarta,
2004:8,9,10.
4. J.A Kay & D.J Thompson, Privatization: A policy
in search of rationale in Economic Journal,
1986;96:18-32.
5. Safri Nugraha, Privatisasi di Berbagai Negara:
Pengantar Untuk Memahami Privatisasi
Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2002:10, 16-18,
19. 20
6. Revrisond Baswir, Bahaya Globalisasi
Neoliberal, Republika Senin 8 Desember 2003
7. Ross Mcleod, Why Privatise In Indonesia? And
How? East Asia Forum. http://www.eastasia
forum.org/2008/08/07/why-privatise-inindonesia-
and-how/. Diakses pada tanggal 18
April 2008.
8. Florence Eid, “Governance & Incentives in
Corporatized Hospital” (Working Paper, the
American University of Beirut), Maret 2005.
9. Hasbullah T. Risiko Konversi rumah Sakit Publik
Menjadi Perusahaan, 2006. http://www.kompas.
com/kompas-cetak/0506/15/opini/1817832.
htm, Diakses pada 18 April 2007.
10. Willam Newbrander, Private Health Sector
Growth in Asia, Issues and Implication. John
Willey & sons Press, London, UK, 1997.
11. Carol Baker, The Health Care Policy Process,
Sage Publications Ltd, London, 1996:163
12. James A. Caporaso and David P. Levine,
Theories of Political Economy, Cambridge
University Press, USA, 1992: 31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar