Selasa, 27 November 2012

JOURNAL OF CONSUMER BEHAVIOR

 

 Title Research

EFFECT OF ATTITUDES AND ATTITUDE TOWARD BRAND ADVERTISING ON CONSUMER BUYING INTEREST


Bibliography Name: Arfian Suwito
Student Number: B 100 030 170
FACULTY OF ECONOMICS
UNIVERSITY MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
2007
Sources Journal / URL
http://library.um.ac.id free-contents savedocpub.php to.doc

Issues / themes / topics1. Is there any effect of attitude toward the brand and attitude toward the influence of advertising on consumer buying interest Lifebuoy soap products to the community in the district Wonosari, Klaten partially?2. Is there any influence attitudes toward advertising influences and attitude towards the brand in consumers to buy the product at the Lifebuoy soap in sub Wonosari, Klaten simultaneously?3. Which factors are more dominant influence on consumers to buy the product at the Lifebuoy soap in sub Wonosari, Klaten?Research Objectives1. To determine whether there was an effect on brand attitudes and attitudes toward advertising on consumers to buy products district community Lifebuoy soap Wonosari partially.2. To determine whether there is influence attitudes toward the ad and attitude towards the brand in consumers to buy products district community Lifebuoy soap Wonosari simultaneously.The theories used- Trade, Asynchronous- Correction Against Bias- Factors affecting the stock betaHypothesis1. Allegedly no influence attitudes toward the brand and attitude toward advertising on consumers to buy the product in sub Wonosari Lifebuoy soap, partially Klaten district.2. Allegedly no influence attitudes toward the ad and attitude towards the brand in consumers to buy the product in sub Wonosari Lifebuoy soap, Klaten districts simultaneously.3. Attitudes Toward Advertising alleged to have greater influence on consumers to buy the product in sub Wonosari Lifebuoy soap, Klaten districts.Research MethodsSubjects and AttractionsSubject and object of this study is people in sub Wonosari, Klaten districts. 've seen and know of exposure (exposure) of television advertising Lifebuoy brand soap products.Type of DataThis study used data derived from primary data is data obtained directly from respondents and secondary data on population data from BPS in sub Wonosari, Klaten district.Data Collection TechniquesThe data collection technique used was a questionnaire. Given the type of data to be analyzed quantitative, questionnaire using a Likert scale with 5 choices from strongly agree, agree, neutral, disagree, strongly disagree.Test Instrument Research
 
a. Test ValidityValidity test is used to measure whether or not the research is valid or invalid. Test validity using Pearson correlation analysis, decision to know whether or not valid instrument items. If at the 5% significance level count value r> r variables, it can be concluded that the clause was valid instrument.b. Test ReliabilityReliability tests to determine whether the instrument has a good confidence index when tested repeatedly. Reliability tests in this study using Cronbach alpha formula, to determine the level of reliability of the instrument of the four variables of the study if the instrument reliability test results of the four variables of the study if the reliability test results provide alpha values> 0.6 (Gozali, 2001).Analysis / outcomesValidity a.UjiTest validity in this case intended to test the accuracy of instruments to measure variables brands, advertising and buying interest. Calculation of instrument validity using Pearson correlation analysis with the help of computer program SPSS. Decisions on grain items declared valid by comparing the value of r count r value table, if the count r> r table then points the item is declared valid.Berdasarkan instrument validity test results of the three variables, namely brand, advertising and buying interest as the table above shows that of whole grains are all valid, because the value of r count (correlation) is greater than r table.b. Test ReliabilityInstrument reliability test aims to determine the magnitude of the confidence index of the variable instrument brands, advertising and buying interest. Having tested the validity and obtained a valid point declaration, further reliability testing using Cronbach Alpha formula. The decision to know that the instrument is reliable if the Alpha value of r> 0.6. Instrument reliability of the test results showed that all three variables, namely brand, advertising and buying interest is reliable because the value of r Alpha> 0.6.Conclusions and KeterbatatasanConclusion1. The independent variable in this case is the attitude of the consumers to buy the brand berpengaruhpada Lifebuoy soap products in District Wonosari Klaten that the first hypothesis is accepted.2. The independent variable in this case is the attitude toward advertising affect consumer buying interest Lifebuoy soap products in District Wonosari, Klaten that the second hypothesis is accepted.3. The independent variable in this case is the attitude toward the brand and attitude toward the ad together affect the consumers to buy the product in District Wonosari Lifebuoy soap, so Klaten third hypothesis is accepted.4. The coefficient of determination (R ²) of 0.732 or equal to 73.2%. This means that 73.2% variation in the dependent variable that buying interest can be explained by the independent variable is the brand and advertising while the remaining 26.8% explained by other variables outside the model.
Limitation1. This study is limited to attitudes toward the brand and attitude toward advertising alone, whereas there are still many things that influenced buying interest, such as price, quality, and other products.2. This study does not fit with the theory because there are other factors that influence the buying interest sepert prices and quality brands caused a negative influence on consumer buying interest.3. Confined to the sub Wonosari, Klaten.


Nama : Dwi Ambarini
Kelas : 3ea10
Npm : 12210164
 


 JURNAL PERILAKU KONSUMEN (SOFTSKILL)


“Awal Kepercayaan dan Perilaku Pembeli Online”

Judul Penelitian ;

Awal Kepercayaan dan Perilaku Pembeli Online. (Initial Trust And Online Buyer Behaviour).

Pengarang ;

Yu-Hui Chen and Stuart Barnes

Norwich Business School, University of East Anglia, Norwich, UK

Daftar Pustaka : LiaDhitya's Blog 

Latar Belakang ;

  • Bukti menunjukkan bahwa alasan utama mengapa orang tidak membeli melalui internet ialah terkait dengan keamanan online dan kebijakan, reliabilitas perusahaan, dan teknologi situs web.

  • Kepercayaan Online merupakan faktor penentu yang penting untuk situs web untuk berhasil di pasar, serta untuk mempertahankan hubungan jangka panjang antar perusahan dengan konsumen, sehingga semakin tinggi tingkat kepercayaan konsumen, semakin tinggi derajat niat pembelian konsumen, dan semakin mudah bagi perusahaan untuk mempertahankan konsumen.

  • Kepercayaan Online memainkan peran penting dalam menciptakan kepuasan dan hasil yang diharapkan dalam transaksi online.

  • Risiko yang dirasakan dalam transaksi online adalah ketidakpastian dalam lingkungan pembelian dimana konsumen harus mempertimbangkan hasil pembelian dan pentingnya membuat keputusan dalam melakukan komersial online.

  • Kompetensi sebuah perusahaan juga bisa mempengaruhi kepercayaan online konsumen dan niat pembelian, termasuk fitur seperti ukuran perusahaan, reputasi yang baik, kemauan untuk menyesuaikan dan interaksi dengan konsumen secara online.

  • Disposisi kepercayaan memiliki dampak penting pada pembentukan awal kepercayaan, karena konsumen dapat bervariasi dalam kesiapan mereka untuk mempercayai orang lain ketika mereka tidak memiliki cukup informasi, terutama dalam situasi yang tidak familiar.

Rumusan Masalah;

Pertanyaan penelitian yang utama untuk studi ini adalah “bagaimana membentuk kepercayaan konsumen awal mereka dan menciptakan niat membeli?”Pertanyaan penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian:

RQ1:     Bagaimana bentuk kepercayaan konsumen online awal mereka?

RQ2:    Bagaimana disposisi pribadi mempengaruhi kepercayaan awal?

RQ3:    Apakah kepercayaan awal online konsumen mempengaruhi niat beli mereka?

Batasan Masalah;

Penelitian ini akan fokus secara khusus membahas pada pembentukan awal kepercayaan online dan pengaruh kepercayaan online dalam menciptakan niat beli konsumen melalui komersial online, serta sejauh mana disposisi pribadi mempengruhi kepercayaan awal dalam pembelian online.

Tujuan Penelitian:

  • Untuk mengetahui bagaimana konsumen online mengembangkan kepercayaan awal mereka.

  • Untuk mengetahui pengaruh kepercayaan online dalam menciptakan niat beli konsumen melalui komersial online

Metodologi Penelitian

Penelitian ini yaitu menguji kepercayaan online awal konsumen dengan menggunakan empat faktor penentu utama yaitu kategori: teknologi yang dirasakan, risiko yang dianggap, kompetensi perusahaan, dan kecenderungan kepercayaan. Hal ini juga mengkaji dampak dari kedua kepercayaan awal online dan keakraban dengan pembelian online pada niat pembelian. Pengumpulan data primer difokuskan pada mahasiswa sarjana dan pascasarjana di Taiwan; pengguna tersebut cenderung memiliki tingkat pengalaman internet. Untuk mengetahui kepercayaan awal online, peserta di Taiwan untuk pertama kalinya diminta untuk mengunjungi situs web asing toko buku online Taiwan, dan mencari produk tertentu. Survei mengadopsi kerangka sampel mahasiswa sarjana dan pascasarjana di Taiwan (usia 18 sampai 30). Sampel mempunyai karakteristis yang sama, yaitu kemampuan ekonomi, dan perilaku konsumsi. Penelitian menyediakan beberapa link di forum online (seperti bbs://ppt.cc,bbs://bbs.ntu.edu.tw, dan www.hellouk.org). Pengumpulan data berlangsung dua minggu. Model penelitian ini adalah statistik diuji dengan menggunakan situs web empat toko buku online di Taiwan. Situs web yang dipilih oleh masing-masing responden asing.

Hasil dan Kesimpulan;

Secara keseluruhan, 103 kuesioner dikumpulkan dan dianalisa. Dari sampel, 43,7 persen adalah laki-laki dan 56,3 persen adalah perempuan. Tidak mengherankan, tingkat pendidikan responden adalah 65 persen per akademi/universitas dan 35 persen per master’s. Beberapa 80,77 persen responden tinggal di utara dan tengah Taiwan. Beberapa 59,2 persen dari responden sebelumnya membeli buku secara online. Selain itu, responden dengan pengalaman menggunakan internet memiliki pengalaman yang signifikan lebih dari belanja buku online.

Penelitian ini menggunakan Cronbach untuk memeriksa keandalan masing-masing konstruksi Semua koefisien dicapai setidaknya 0,70, sehingga yang dihasilkan dapat diterima dan cukup handal. Cronbach secara keseluruhan bernilai 0,973. Mengenai validitas isi, pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner online didasarkan pada penelitian sebelumnya dan teori, karena itu ditunjukkan bahwa isi dari survei tersebut valid.

Korelasi antara kepercayaan awal online dan variabel lain yang sangat signifikan (p, 0,01). Kepercayaan awal online memiliki hubungan signifikan dengan persepsi  kegunaan, dirasakan keamanan, dianggap privasi, reputasi, kemauan untuk menyesuaikan, interaksi, keakraban dengan pembelian secara online, dan niat beli.

Dari hasil regresi untuk H1a untuk H1i, memiliki kecocokan (F ¼ 96,514, P ¼ 0,000) dan R2 disesuaikan tinggi nilai 0,824. Persepsi kegunaan (H1a), keamanan dirasakan (H1d), dianggap privasi (H1e), persepsi reputasi (H1g), dan kemauan untuk menyesuaikan (H1h) semua memiliki signifikan hubungan positif dengan kepercayaan awal online. Variabel yang lain secara statistik tidak signifikan dan dengan demikian hipotesis yang terkait tidak dapat didukung. Selanjutnya, persepsi manfaat (b ¼ 0,220) dan kesediaan untuk menyesuaikan (b ¼ 0,227) lebih berpengaruh terhadap kepercayaan konsumen online awal dari penentu lainnya.

Untuk meneliti H2, penelitian ini membawa disposisi kepercayaan pribadi. Dalam analisis yang dihasilkan, H2 diterima, model itu baik (F ¼ 85,661, P ¼ 0,000) dan yang disesuaikan R2 adalah 0.833.  Kepercayaan disposisi mempengaruhi hubungan antara online awal kepercayaan dan semua variabel yang didukung (dianggap tidak bermanfaat, dirasakan keamanan, dianggap privasi, dirasakan reputasi, dan kemauan untuk menyesuaikan). Hal ini juga menunjukkan bahwa kepercayaan kecenderungan (b ¼ 0,225) manfaat, persepsi (b ¼ 0,236), dan kesediaan untuk menyesuaikan (b ¼ 0.200) adalah penentu paling berpengaruh di H2, dan memiliki dampak positif yang tinggi pada peningkatan kepercayaan awal online.

Selanjutnya, kita uji H3 (seperti yang ditunjukkan dalam Tabel III). Model yang dihasilkan memiliki kecocokan (F ¼ 124,157, P ¼ 0,000) dan baik adjusted R2 nilai 0,707, dan H3 dengan demikian hipotesis diterima; kepercayaan awal online dan keakraban dengan pembelian online memiliki dampak positif pada niat pembelian. Menariknya, keakraban dengan transaksi online (B ¼ 0,691) lebih berpengaruh terhadap niat membeli secara online dari kepercayaan awal online (B ¼ 0,211).

Setelah mengadopsi analisis regresi, penelitian ini terus menyelidiki hubungan antara keakraban dengan transaksi online dan niat beli. Studi ini menggunakan ANOVA untuk menguji H4. Ditemukan bahwa konsumen dengan keakraban lebih tinggi untuk bersedia membeli secara online (F ¼ 58,441;¼ P 0,000). Oleh karena itu, H4 diterima.

 

Tabel Hasil Analisis

Membangun kepercayaan online merupakan komponen penting bagi vendor untuk berhasil dalam lingkungan komersial online, dimana transaksi lebih impersonal dan anonim, karena ini akan mempengaruhi niat beli konsumen. Dalam komersial online, pembeli tidak dapat pengalaman langsung barang (dengan pengecualian beberapa digital), dan mereka melakukan pembelian keputusan berdasarkan informasi yang diberikan oleh pengecer online dan juga dari persepsi mereka pada situs web.

Penelitian ini menunjukkan bahwa vendor harus membangun situs web yang tidak hanya berguna, aman, dan hormati kebebasan pribadi, tetapi yang juga dapat dipercaya. Situs Web dapat memanfaatkan teknik yang bermanfaat atau konten informatif untuk mendorong konsumen merasa dermawan dan mengurangi keprihatinan pemanfaatan konsumen. Tinggi persepsi privasi dan keamanan yang berhubungan dengan janji perlindungan informasi pribadi dalam kompetensi situs Web adalah juga merupakan faktor penting. Reputasi yang baik dianggap sebagai tanda perusahaan yang baik dan jujur dengan kemampuan unggul, kesediaan untuk menyesuaikan dianggap sebagai indikasi kebajikan perusahaan dan pertimbangan konsumen. tingkat kepercayaan yang berbeda dari kecenderungan memoderasi hubungan antara kepercayaan awal online konsumen  dan persepsi mereka dari sebuah situs web. Tinggi derajat kepercayaan awal online dan keakraban dengan pembelian online merangsang derajat lebih tinggi niat pembelian konsumen. Keakraban dengan pembelian online mengurangi risiko yang dirasakan konsumen, membawa sikap positif dalam niat pembelian, dan memudahkan keputusan pembelian.

Saran;

Sejumlah keterbatasan dan rekomendasi untuk penelitian mendatang dapat disarankan. Salah satu batasan potensial adalah sampel mahasiswa, yang tidak mungkin untuk mewakili lebih luas populasi. Selanjutnya, penelitian tidak mengontrol kemungkinan bahwa responden mungkin sudah pernah mendengar tentang perusahaan sebelumnya melalui iklan, pengetahuan lain, atau dari orang lain, menyebabkan bias dan mengarah pada beberapa keyakinan kepercayaan terbentuk sekitar perusahaan. Buku, yang item menyentuh harga rendah, juga tidak mewakili semua jenis perusahaan dan produk secara umum. Penelitian di masa depan bisa mengumpulkan lebih luas, sampel lebih dikendalikan dan menggunakan berbagai produk yang lebih besar. Calon penelitian bisa juga menyelidiki unsur-unsur yang mempengaruhi perilaku pembelian konsumen berikutnya, seperti kualitas produk, metode pengiriman, dan layanan purna jual. Selanjutnya, penelitian juga dapat meneliti faktor lainnya yang mempengaruhi kepercayaan awal online, seperti taktik pemasaran, varietas produk, rentang harga, layanan online, kualitas situs web, dan tingkat kenyamanan (penghematan waktu dan / atau kecepatan proses transaksi).


Nama : Dwi Ambarini
NPM : 12210164
Kelas : 3EA10

Sabtu, 20 Oktober 2012

Metode Riset : MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN


Jurnal


ANALISIS JUMLAH KEBUTUHAN TENAGA PEKARYA DENGAN WORK SAMPLING DI UNIT LAYANAN GIZI PELAYANAN KESEHATAN

M.Waseso Suharyono1, Wiku B.B Adisasmito2
1 Bagian Pelayanan Kesehatan Sint Carolus, Jakarta
2Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta

 

Abstrak 

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode work sampling. Sampel penelitian adalah seluruh pekerja (13 orang) di Unit Layanan Gizi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan terhadap kegiatan pekerja di Unit Layanan Gizi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus selama 7 hari berturut-turut (9-15 Juni 2005). Data dianalisis dengan menggunakan metode Workload Indicators of Staffing Need (WISN). Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa produktifitas atau penggunaan waktu produktif terhadap waktu kerja dalam satu  shift kerja adalah 43,57 % dan penggunaan waktu produktif terhadap total waktu kegiatan dalam satu hari kerja 53,36 %. Kegiatan langsung tenaga pekarya di layanan gizi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus pada waktu pagi hari 24,93%, sedangkan pada waktu kerja sore lebih rendah sebesar 17,94%. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan waktu produktif tenaga pekarya masih rendah. Berdasarkan penggunaan waktu produktif dibutuhkan 8 tenaga pekarya, dan berdasarkan metode WISN hanya dibutuhkan 7 tenaga pekarya. Kesimpulan: Jumlah optimal kebutuhan tenaga pekarya yang dibutuhkan di Unit Layanan Gizi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus sebanyak 7 orang tenaga pekarya. Hal ini menunjukkan adanya kelebihan jumlah tenaga pekarya Unit Layanan Gizi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus sebanyak 6 orang.
Kata Kunci: beban kerja, work sampling.


Jurnal 2


ANALISIS SISTEM PELAYANAN KESEHATAN KARYAWAN SECARA SWADANA DIBANDING SWAKELOLA DI RUMAH SAKIT YOS SUDARSO PADANG

Pratikno A1, Machud R2, Busuddin H3.
1. Mahasiswa Program Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Padang.4
2. Guru Besar Program Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Padang.
3. Staf Pengajar Program Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Padang.


Abstrak

Saat ini biaya pelayanan kesehatan menjadi masalah bagi banyak negara dan organisasi, begitu juga bagi rumah sakit. Kami mendapatkan data pada tahun 2009 umntuk pelayanan kesehatan karyawan rumah sakit sebesar Rp 585 675 413 . Biaya tersebut lebih besar bila disbanding bila dilakukan system swadana yakni sekitar Rp 200.000.000. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui system mana yang lebih baik untuk menangani pelayanan kesehatan karyawan rumah sakit, swadana atau swakelola. Metode yang digunakan adalah kombinasi studi pontong lintang dan time linear. Data tahun 2008-2010 dievaluasi baik biaya rawat inap, rawat jalan,l dan dengan metode time series forcasting diprediksi biaya yang akan dikeluarkan pada tahun 2011. Data tersebut dibandingkan dengan besar premi bila dikelola dengan system swadana pada tahun 2011. Pada tahun 2008 didapatkan 2817 kunjungan rawat jalan dengan rata-tara 234,75 kunjungan perbulan, tahun 2001 ada 2640 kunjungan, dan 2010 ada 2093 kunjungan dengan rata-tata 174, 42 pasien perbulan (p = 0,000). Pasien rawat inap tercatat 78 orang pada tahun 2008 dengan rata-rata 6,16 pasien per bulan, 2009 sebanyak 88 pasien dengan rata-rata 7,33, dan 2010 terdapat 61 pasien dengan rata-rata 5,08 pasien (p = 0,04). Pada tahun 2008 dikeluarkan biaya sebesar Rp 527.318.654, tahun 2009 sebesar Rp 585.675.413 dan tahun 2010 sebesar Rp 528.295.935 (p = 0,62). Analisa Kolmogorf-smearnof digunakan untuk membedakan mana system yang lebih efisien swadana atau swakelola. Studi ini mendapatkan system swadana lebih efisien dibanding swakelola (p=0,000). Kesimpulan Sistem swadana lebih efisien dibanding swakelola.
Kata kunci : biaya, kesehatan, karyawan , rumah sakit


 Jurnal 3


PERSEPSI DAN PENGARUH SISTEM PEMBAGIAN JASA PELAYANAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI RUMAH SAKIT JIWA MADANI

Nofrinaldi1, Andreasta Meliala2, Adi Utarini2,3
1Rumah Sakit Jiwa Madani, Sulawesi Tengah
2Minat Manajemen Rumahsakit, UGM, Yogyakarta
3Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta


Abstrak

Penelitian kuasi-eksperimental ini menggunakan rancangan pre dan post test, tanpa kelompok kontrol. Subjek adalah seluruh staf rumah sakit (n=202). Variabel independennya adalah revisi sistem insentif dan persepsi staf terhadap sistem insentif tersebut, sedangkan variabel dependennya adalah kinerja dokter (yaitu presensi, jumlah pasien, jumlah visite) dan kinerja staf (kualitas pekerjaan, beban kerja, efektivitas biaya dan inisiatif). Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dan dokumen yang tersedia. Analisis deskriptif dan uji paired t-test dan product moment correlation digunakan dalam analisis data. Hasil: Revisi sistem insentif menyebabkan penurunan bermakna persepsi keseluruhan terhadap sistem insentif (1,7%) dan peningkatan bermakna dalam kinerja dokter sebesar 6.7%. Persepsi staf berkorelasi bermakna dengan kinerja staf, dengan korelasi tertinggi pada dokter (r 0,88). Pada perawat, revisi sistem insentif tersebut justru menurunkan persepsi mereka terhadap aspek keadilan dan persepsi keseluruhan, serta sistem insentif tersebut tidak mempengaruhi kinerjanya. Kesimpulan: Revisi sistem insentif menurunkan persepsi staf, yang selanjutnya berkorelasi dengan kinerjanya.
Kata Kunci: sistem insentif, persepsi dan kinerja staf


Latar Belakang 

 

Dalam Sistem Kesehatan Nasional diebutkan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar terwujud derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsure kesejahteraan umum, Dalam rangka mencapai tujuan tersebut dilakukan upaya kesehatan yang menyeluruh, terpadu dan merata yang dapat diterima dan terjangkau oleh seluruh masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat. Untuk mengetahui penilaian konsumen tentang kualitas pelayanan tenaga medis, paramedic dan penunjang medis, serta kepuasan yang dapat dirasakannya. Hal ini penting sebagai acuan dalam pembenahan pelayanan agar dapat memberikan kepuasan optimal. 
  
Kepustakaan 
 1. Dessler, G. Manajemen Personalia. Ed. 3.Penerbit Erlangga. 1984; 3: 697.
 2. Handoko, H. Manajemen Personalia DanSumber Daya Manusia. BPFE, Yogyakarta.1996; 2:258.
 3. Aditama, T.Y. Manajemen Administrasi RS. Ed.2. Universitas Indonesia. Jakarta. 2002: 371.
 
 1. Stalker P, Millennium Development Goals, Let Speak Out for MDGs: Achieving the Millennium Development Goals in Indonesia . MDG Thematic Working Groups. Kementrian Perencanaan Pembangunan & kepala Badan Perencnaan Pembangunan Nasional .2008.1-36.
             2. Kurnia l. Anggaran Kesehatan Jauh Dari Standr. Kompas, [on line]: http://nasional.kompas.com/read/2009/01/06/03445334. 2009
             3. UNDP. Millenium Development Goals,UNDP. [on line]: http://www.en.wikipedia.org/wiki/millenium-development-goals.2010.
 
1. Toddaro, Michael. Economic Development, Eight Edition, Addison-Wesley, USA. 2002.
            2. Kuntjoro, Mudrajad. Ekonomi Pembangunan, AMP-YKPN, Yogyakarta, 2003.
            3. Parkin, Michael, Bade, Robin. Modern Macroeconomic, Sixth Edition, Prentice-Hall, Canada.2004.
 
Deni Harbiyanto
Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan
FK UGM, Yogyakarta
Nama  : Aranita Devista
NPM   : 11209516
Kelas   : 3EA11
MK     : Metode Riset ( Review Jurnal / Analisis Jurnal )


 
 

Kamis, 11 Oktober 2012

JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN 


            POLITIK PEMBANGUNAN DAN KEBIJAKAN                             PRIVATISASI PELAYANAN KESEHATAN

      THE POLITIC OF DEVELOPMENT AND HEALTH PRIVATIZATION IN HEALTH SERVICE


Latar Belakang 
      
Privatisasi Pembangunan di Mancanegara dan
di Indonesia

     Cita-cita dunia barat sebagian besar adalah citacita
liberal yang menyepakati tentang arti liberalisme,
selain kebebasan atau liberte individu yaitu hal-hal
yang akan menyelamatkan dan mempertinggi
kebebasan itu, seperti persamaan hak, pemerintahan
konstitusi, aturan hukum, dan toleransi. Pada batasan
konsep liberalisme seperti inilah ruang privatisasi
pembangunan pemerintah berada.
     Adanya arus besar privatisasi sebagai
representasi politik liberalisasi setidaknya dapat
dipahami dengan mengacu pada pandangan J.A. Kay
dan D.J. Thomson yang menganggap bahwa privatisasi
tidak semata-mata soal pengalihan kepemilikan badan
usaha saja melainkan merupakan cara mengubah
hubungan antara pemerintah dan sektor swasta
”...means of changing relationship between the
government and private sector”,4 secara lebih subtanstif
dalam perspektif filsafat-politik, privatisasi berarti
kegiatan mengurangi peranan pemerintah (state control)
dan meningkatkan peran swasta. Privatisasi adalah:
”the act of reducing the role of government and
expanding that of the private sector.”
     Pada praktiknya, terdapat perbedaan dalam
penetapan batasan dan pelaksanaan privatisasi.
Sebagai contoh, Amerika Serikat (selanjutnya
disebut AS) privatisasi diartikan sebagai minimalisasi
peranan pemerintah dan maksimalisasi peran sektor
swasta, baik dalam aktivitas-aktivitas layanan publik
maupun kepemilikan aset-asetnya. John D. Donahue
memberikan konsep berikutnya tentang privatisasi
yang lebih menekankan pada peningkatan kinerja
sektor publik dengan pelibatan kekuatan sektor
swasta dalam layanan publik dengan ungkapan: ”the
term more often refers to the private delivery of goods
and services that are still paid collectively’.
     Sementara di Inggris, konsep privatisasi
mempunyai beberapa pengertian yang berbeda.
Dalam arti sempit privatisasi didefinisikan sebagai
konsep penjualan aset-aset publik, sebagaimana
ungkapan Peter M. Jackson dan Catherine M.Price:
”privatization could be defined in narrow terms
restricting the concept to the sale of public as sets.”.
    Berikutnya, privatisasi lebih diartikan sebagai proses
pengalihan bentuk hukum perusahaan negara
berdasarkan perundang-undangan yang ada dan
kemudian diikuti dengan penjualan saham-saham
perusahaan tersebut kepada pihak swasta: “the
formation of a company under the Companies Act
1985 and the sub sequent sale of at least 50% of
the shares to private shareholder”.. Penekanan pada
penjualan aset publik berupa perusahaan negara
kepada pihak lain dengan terlebih dahulu mengalihkan
bentuk hukum perusahaan tersebut menjadi
perusahaan swasta sesuai dengan UU Perusahaan
yang ada dan kemudian menjualnya sebagian atau
seluruhnya saham-sahamnya kepada pihak swasta
dianggap sebuah ciri privatisasi di Inggris.6
     Sebagai sebuah kebijakan, privatisasi telah
memunculkan pro dan kontra dengan dasar
argumentasi masing-masing. Antara lain ungkapan
mantan Menteri Ekonomi dan Keuangan Spanyol
Carlos Solchaga mewakili kelompok pro: privatisasi
adalah bagian dari proses demokrasi. Dalam banyak
kasus, privatisasi merupakan solusi terbaik karena
dengan privatisasi perusahaan dapat lebih cepat
berkembang dan maju, sehingga membuka peluang
lapangan pekerjaan yang lebih banyak. Belum lagi
daya saing, yang berarti dapat meningkatkan profit
dan menurunkan tarif atau harga”.5 Dukungan serupa
juga diberikan oleh seorang ekonom dari Australia
National University Indonesia Project, Ross Mcleod.
Menurutnya ada beberapa alasan yang membuat
privatisasi merupakan jalan yang tepat untuk sebuah
perubahan yaitu pertama, privatisasi mengefektifkan
manajemen lembaga terkait, sehingga jika pemimpin
dianggap tidak mampu lagi memegang kendali
perusahaan atau melakukan kesalahan yang
berakibat fatal pada perusahaan maka ia dapat
dipecat. Tidak seperti sistem yang dipakai saat ini,
jika pemimpin melakukan kesalahan, sanksi yang
diberikan hanya mutasi jabatan. Kedua, proses
rekrutmen, promosi dan remunerasi dalam sistem
kepegawaian yang mengacu pada sistem yang
berlaku pada lembaga pemerintah menghasilkan
banyak pegawai dengan kualitas yang di bawah dari
yang diharapkan, sementara perusahaan
membutuhkan pegawai dengan kualitas sesuai yang
dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja peusahaan.
Ketiga, perusahaan negara yang belum terprivatisasi
akan sangat banyak mendapatkan intervensi politik
dari pemerintah maupun legislatif, sehingga akan
menghambat pertumbuhan dan perkembangan
perusahaan, terutama dalam hal investasi, profit
sharing, dan lain-lain.
    Sementara kelompok yang kontra
mengemukakan bahwa privatisasi berhubungan
langsung dengan fenomena global, karena sistem
ekonomi yang terpusat pada negara (state centered
economic system) ditransformasikan menjadi suatu
sistem ekonomi yang berpusat pada mekanisme
pasar bebas (free market economic system). Hal
ini dianggap sebagai bentuk penjarahan kekayaan
negara model baru dari kolonialisme dan liberalisme
yang telah terbukti memiskinkan masyarakat di
negara dunia ketiga.
    Di Indonesia, terdapat beberapa konsep dan
pemahaman yang menjadi dasar pelaksanaan
privatisasi. Antara lain, konsep privatisasi sebagai
bentuk pengurangan intervensi pemerintah ke BUMN,
dan memberikan lebih banyak kebebasan bagi
BUMN untuk beroperasi sesuai dengan anggaran
dasarnya.8 Konsep ini memang lebih banyak
menekankan kepada pengurangan intervensi
pemerintah ke BUMN yang pada akhirnya bertujuan
membuat BUMN mandiri dalam operasionalnya
sehari-hari. Berdasarkan definisi dan konsep
privatisasi ini, sudah banyak BUMN di Indonesia
yang diprivatisasi oleh pemerintah semenjak tahun
1990-an seperti Indosat, Telkom, tambang timah,
dan lainnya.
    Selain itu, privatisasi di Indonesia juga sering
diartikan sebagai kegiatan mengalihkan sebagian
tugas pemerintah ke sektor swasta. Pada definisi
ini, pemerintah mengalihkan sebagian tugasnya
kepada pengusaha swasta, seperti penanganan
sampah, penyediaan air minum dan berbagai
layanan publik lainnya, sehingga banyak prasarana
dan pelayanan publik yang dibangun oleh pihak
swasta, seperti rumah sakit, sekolah, angkutan
umum, jalan tol, angkutan udara, dan perumahan.
Artinya pelaksanaan privatisasi di Indonesia
menganut dua konsep privatisasi, yang
memfokuskan pada pelayanan publik, seperti di AS
dan juga pada penjualan BUMN, seperti di Inggris.9
Dengan peningkatan kinerja, perluasan partisipasi
masyarakat dan tingkat manfaat yang dapat diambil
menjadi beberapa dasar pelaksanaan privatisasi
seperti tertuang dalam UU RI No. 19/2003 tentang
BUMN pasal 1 ayat 12 tetang privatisasi: ” .. adalah
penjualan saham persero, baik sebagian maupun
seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka
meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan,
memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat,
serta memperluas pemilikan saham oleh
masyarakat”.

Privatisasi Pelayanan Kesehatan

    Pengurangan peran pemerintah karena
ketidakmampuan menanggung sendiri beban dan
biaya pengembangan pelayanan kesehatan bahkan
pemeliharaan pelayanan kesehatan dengan alternatif
penyertaan pihak swasta menjadi salah satu dasar
penetapan kebijakan privatisasi. Pemindahan
sebagian tugas pengelolaan pelayanan kesehatan
kepada organisasi sukarelawan, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) atau perusahaan-perusahaan
privat ‘for profit ataupun non profit ‘ mengacu pada
berbagai peraturan pemerintah yang mengikat.
Banyak pemerintahan negara-negara sedang
berkembang yang bahkan telah lama tergantung
kepada sektor swasta atau organisasi pemberi
bantuan dalam penyediaan pelayanan kesehatan.
Meski seolah terkesan pragmatis, namun hal ini
dapat dipandang sebagai fenomena sementara
karena pemerintah akan memulihkan dan
memperkuat perannya kembali dengan mengambil
bila telah tersedia sumber dana yang mencukupi.
    Dasar pertimbangan lain adalah cepatnya
pertumbuhan tuntutan pasar di era perdagangan
bebas pada lembaga-lembaga pemerintah, tak
terkecuali di bidang kesehatan yang mengharuskan
dilakukannya upaya-upaya terobosan termasuk
pengubahan bentuk status kepemilikan atau
privatisasi. Korporatisasi atau privatisasi pelayanan
kesehatan diyakini akan mampu menjawab masalahmasalah
inefisiensi pengelolaan keuangan, belum
optimalnya mutu pelayanan kesehatan dan
sebagainya. Kebijakan privatisasi bahkan dipandang
sebagai salah satu jalan yang harus ditempuh untuk
menyelamatkan keuangan negara dan daerah.
     Argumentasi dukungan terhadap kebijakan
privatisasi antara lain: sebagai upaya mengurangi
beban keuangan pemerintah, sekaligus membantu
sumber pendanaan pemerintah dengan menjual
sahamnya, meningkatkan efisiensi pengelolaan
perusahaan, meningkatkan profesionalisme,
mengurangi campur tangan birokrasi dan pemerintah
terhadap pengelolaan perusahaan, mendukung
pengembangan pasar modal dalam negeri, sebagai
pembawa bendera (flag-carrier) dalam mengarungi
pasar global.
    Atas dasar itu, Eid, F, menyayangkan
kenyataan bahwa keuntungan atau manfaat yang
bisa didapat dari privatisasi rumah sakit pemerintah
sering terhalang oleh kendala politis, selain juga
kemampuan kewirausahaan dari pengelola.
Mengingat area penting yang menjadi tanggung
jawab pemerintah di bidang kesehatan adalah
regulasi, keuangan dan penetapan standar
pelayanan, maka sudah seharusnya pemerintah
menaruh perhatian tinggi pada transformasi bentuk
dan status rumah sakit serta penyelesaian masalahmasalah
yang timbul pada prosesnya.
Pihak yang kontra terhadap kebijakan privatisasi
di Indonesia beranggapan bahwa kebijakan
privatisasi pelayanan kesehatan atau rumah sakit
merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 Pasal
28H 1 tentang Hak Pelayanan Kesehatan dan Pasal
34 Ayat 3 yang menyebutkan bahwa negara
bertanggung jawab atas fasilitas kesehatan dan
fasilitas umum yang layak. Mengambil pelajaran dari
pengalaman berbagai negara lain, Thabrany
berpendapat bahwa bentuk perseroan terbatas
bukanlah bentuk yang tepat untuk sebuah fasilitas
pelayanan publik seperti rumah sakit. Ada banyak
karakteristik dalam pelayanan di bidang kesehatan
yang tidak bisa disamakan dengan pelayanan publik
yang lainnya.
    Terlepas dari pro dan kontra yang berkembang,
serta alasan ideologis dan politis yang
melatarbelakangi, faktanya privatisasi pelayanan
kesehatan telah berlangsung. Pada tahun 1993,
World Development Report memberikan data
mengenai estimasi jumlah sektor swasta (private)
dan publik di 79 negara pada tahun 1990. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sektor swasta
(private) pada 24 negara di antaranya telah
berkembang lebih besar daripada sektor publik. Pada
banyak negara, pelayanan kesehatan sudah
beroperasi mendekati situasi pasar bebas sehingga
privatisasi telah menjadi bagian penting dalam
agenda politik di banyak negara.Sebagaimana data
tentang kontribusi sektor swasta (private) dalam
pelayanan kesehatan di negara-negara berkembang
Asia berikut: India, 57% dari rumah sakit dan 32%
dari tempat tidur adalah swasta; Korea, proporsi
rumah sakit swasta telah meningkat dari 35% ke
95% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir; Filipina,
67% dari rumah sakit adalah swasta meliputi 50%
dari tempat tidur, Thailand 30% dari rumah sakit
adalah swasta. Di India dan Thailand, pembelanjaan
kesehatan bersumber swasta adalah sekitar 88%;
di Indonesia 65%; di Korea 60%; di Filipina sekitar
50%.10 Bagaimana memaknai data kontribusi pihak
swasta pada pelayanan kesehatan di sebuah Negara
apakah sebagai suatu hal positif yang menunjukkan
kemajuan di bidang kesehatan atau justru sebaliknya
tentu terpulang pada paradigma sang penilai serta
konsideran pelaksanaan privatisasi pelayanan
kesehatan itu sendiri.



Kepustakaan 

        Dumilah Ayuningtyas
Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok
 No. 03 September l 2009
 
 1. Samuel Huntington, Gelombang Demokratisasi
Ketiga. Grafiti, Jakarta, 2000;Bab. 1,3.
2. Tommy Legowo, Demokratisasi: Refleksi
Kekuasaan yang Transformatif, Analisis CSIS,
1994;XXIII(1):6.
3. Syamsul Hadi, et.all, Strategi Pembangunan
Indonesia Pasca IMF, Granit, Jakarta,
2004:8,9,10.
4. J.A Kay & D.J Thompson, Privatization: A policy
in search of rationale in Economic Journal,
1986;96:18-32.
5. Safri Nugraha, Privatisasi di Berbagai Negara:
Pengantar Untuk Memahami Privatisasi
Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2002:10, 16-18,
19. 20
6. Revrisond Baswir, Bahaya Globalisasi
Neoliberal, Republika Senin 8 Desember 2003
7. Ross Mcleod, Why Privatise In Indonesia? And
How? East Asia Forum. http://www.eastasia
forum.org/2008/08/07/why-privatise-inindonesia-
and-how/. Diakses pada tanggal 18
April 2008.
8. Florence Eid, “Governance & Incentives in
Corporatized Hospital” (Working Paper, the
American University of Beirut), Maret 2005.
9. Hasbullah T. Risiko Konversi rumah Sakit Publik
Menjadi Perusahaan, 2006. http://www.kompas.
com/kompas-cetak/0506/15/opini/1817832.
htm, Diakses pada 18 April 2007.
10. Willam Newbrander, Private Health Sector
Growth in Asia, Issues and Implication. John
Willey & sons Press, London, UK, 1997.
11. Carol Baker, The Health Care Policy Process,
Sage Publications Ltd, London, 1996:163
12. James A. Caporaso and David P. Levine,
Theories of Political Economy, Cambridge
University Press, USA, 1992: 31.